Friday, February 27, 2015

Bitter and Sweet of Love

   Cinta? Apa itu? Cuma hal yang menyakitkan.

   Ya, mungkin untuk sebagian orang akan beranggapan seperti itu apalagi kalau pernah disakiti oleh cinta. Sama seperti halnya denganku, Jesslyn. Jujur saja, aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran lagi setelah lama putus waktu kelas 9 karena trauma gara-gara dimanfaatkan oleh mantan pacarku dalam hal materi. Padahal, banyak orang yang mengatakan bahwa tampangku lumayan. Aneh? Mungkin itulah yang ada dipikiran kebanyakan orang. Bagaimana bisa orang yang bertampang lumayan bisa tidak memiliki pacar? Tapi, itulah yang sebenarnya terjadi. Trauma? Mungkin. Dan sekarang, kisahku pun dimulai, di bangku SMA dimana orang selalu berargumen bahwa SMA itu adalah tempat dimana masa yang paling indah, apalagi tentang cinta..

   Aku tiba di sekolah bersama sahabatku, Elsa. Kami berdua sekelas di awal bangku SMA ini. Masing-masing murid sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Termasuk kami berdua. Tapi sayang, ternyata wali kelas kami membuat tempat duduk dengan cara di undi dan harus menempati tempat itu selama 1 tahun.

   Seperti dugaan kami, Kita berdua tidak sebangku. Aku mendapat angka 7 yang tempat duduknya berada di pojok belakang dekat jendela dan Elsa mendapat angka 6 yang berada di depanku. Aku segera menempati tempat dudukku dan berharap bahwa pasanganku adalah perempuan. Hingga sekali lagi harapanku harus meleset, aku duduk bersama seorang anak laki-laki. Oke, boleh ku akui bahwa anak laki-laki itu cukup tampan walau pakaiannya sedikit kotor dengan noda lumpur.

   "Lucky, akhirnya gue bisa duduk dibelakang. Oh ya, mohon bantuannya ya. Kenalin, gue Hans."

   "Oh, iya. Lyn." Jawabku singkat.

   Aku diberitahu Elsa bahwa, dia adalah orang yang cukup populer karena di incar para gadis di sekolahku ini. Dia juga akrab dengan anak laki-laki di sekolah ini. Kata Elsa, beruntung bahwa aku bisa duduk bersama dengannya. Begitu banyak gadis yang menginginkan agar bisa duduk bersama dengannya. Tahu begitu, ku jual saja nomor tempat dudukku. Elsa yang mendengar celotehanku segera tertawa dengan keras.

    Sudah seminggu kami duduk bersama. Tidak ada yang memulai percakapan diantara kami. Aku sendiri sebisa mungkin tidak mau terlibat dengannya. Sepertinya dia merasa bosan. Akhirnya, dia memperhatikanku. Karena merasa diperhatikan terus menerus, aku segera menoleh ke arahnya.

   "Hei, tulisan apa yang ada ditangan kirimu itu?"

   Aku tersentak. "Eh? Oh, ini adalah daftar reminderku yang harus dilakukan sewaktu pulang sekolah nanti."

   Pak guru yang melihat kami mengobrol segera memperingatkan Hans yang membuat seisi kelas tertawa karena merasa konyol. Dia pun akhirnya diam dan kami berdua diam lagi. Tetapi, ketika aku melihat ke arah tangan kirinya terdapat sebuah tulisan. "Oh, daftar reminder ya? Sepertinya asyik ya menulis ditangan kiri." Dia tersenyum kepadaku.

   "Kenapa?" Aku yang kaget dengan kelakuannya spontan bersuara dengan keras hingga pak guru melihatku dan menanyaiku dan segera saja aku menjawab tidak ada apa-apa. Dia akhirnya menulis lagi ditangan kirinya yang segera aku baca.

   Dia tersenyum lagi sambil menunjukkan tulisan di punggung tangan kirinya. "Ssstt, jangan ngobrol. Kalau begini tidak akan ketahuan kan?"

   Aku tersenyum. Mulai dari kejadian ini, kami sering menghabiskan waktu dengan mengobrol lewat tangan kiri kami masing-masing.

   Aku menceritakan semua kejadian ini kepada Elsa. Tetapi, pertanyaan Elsa membuatku tersentak. Padahal hanya pertanyaan yang simpel tapi terasa sangat sulit untuk dijawab. "Sepertinya dia menyukaimu. Lalu, bagaimana dengan perasaanmu padanya, Lyn?"

   Oke, jujur saja aku sendiri tidak begitu mengerti dengan perasaanku. Benarkah dia menyukaiku? Lalu aku sendiri bagaimana? Apakah aku jatuh cinta dengannya? Aku sendiri takut untuk jatuh cinta. Aku terlalu takut untuk berharap bahwa dia menyukaiku. Aku menepis semuanya dan segera menggeleng dengan pelan. Aku menjawab tidak tahu karena sepertinya aku sendiri hanya menganggapnya teman.

   Melihatku menggeleng, Elsa menatapku dan menanyaiku lagi. "Benar kamu nggak ngerti dengan perasaanmu sendiri? Pernah nggak, kamu ngerasain waktu kamu ngobrol dengannya serasa nggak ingin semua itu berakhir. Atau mungkin, kamu selalu memperhatikan tingkah lakunya secara diam-diam?"

   Melihatku termenung diam, dia melanjutkan perkataannya. "Kalau memang benar dia menyukaimu, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu tetap tidak ingin mencoba untuk membuka perasaanmu? Come on! Don't give up on love, because one day love will give up on you, Okay?"

   Aku hanya terdiam mendengar perkataan Elsa.

   Hari ini, adalah pelajaran menggambar, kami semua disuruh menggambar di luar kelas. Tentu saja, aku memilih tempat yang sepi seperti di halaman belakang sekolah. Ketika sedang menggambar, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Spontan, aku menoleh. Ya, Hanslah yang menepuk pundakku.

   "Wah, pilihan yang tepat untuk tempat menggambar, ya? Boleh gabung nggak?"

   Aku mengganggukkan kepalaku dan melanjutkan menggambar.

   "Hei, gambarmu bagus"

   "Thanks"

   "Eh, bentar, mukamu cemong tuh." Dia segera mencoretkan tinta ke pipiku.

   "Heeeiiii!!!" Karena tidak terima mukaku di coret tinta, aku pun membalasnya dengan mencoretkan tinta di lengannya. Tepat disaat itu, temannya datang menghampiri kami berdua dan ternyata temannya itu adalah dia, ya dia. mantan pacarku, Felix. Aku segera mematung melihatnya.

   Melihatku mematung, Hans segera menyenggolku hingga aku akhirnya meraih kesadaranku kembali.

   "Woi, lagi ngapain lo, Hans? Wah, Sekarang lo punya cewek, nih?" kata Felix. Mendengar hal tersebut, aku segera meninggalkan mereka berdua dengan perasaan ingin menangis karena kenangan pahit itu kembali menyeruak keluar.

   Tanpa kusadari, ternyata Hans menyusulku dan menghalangi jalanku. Melihatku menangis, dia memintaku agar mengikutinya ke perpustakaan. Disanalah aku menceritakan semuanya. Awal ketika aku berpacaran dengan Felix hingga aku mengetahui hal itu bahwa aku hanya dimanfaatkannya saja. Dia mendengarkanku dengan tenang dan tidak menyela sampai aku selesai berbicara.

   "Forgive and forget. Because life's to short to be living with regrets, right? Tapi, Maaf, sebenarnya aku sudah tahu tentang hubunganmu dan juga Felix sebelum kamu menceritakan padaku tadi. Sebenarnya, sudah lama aku menyukaimu dan selalu memperhatikanmu."

   Aku yang mendengar hal itu segera mendengus. "Hei, aku tahu kamu sedang bercanda. Tapi, candaanmu ini benar-benar tidak lucu, Hans."

   "Mungkin memang ini waktu yang nggak tepat, Lyn. Tapi aku mengatakan ini dengan jujur. Tolong, lihatlah aku, sekali saja."

   Aku segera bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkannya sendiri di perpustakaan.

   Semenjak hari itu, kami berdua tidak pernah saling mengobrol lewat tangan kiri lagi. Kami berdua kembali seperti pertama kali. Sepi. Tidak ada suara. Hingga akhirnya aku menceritakan semua kejadian yang terjadi dengan Elsa.

   "Apa yang udah aku bilang? Dia suka sama kamu kan? Terus, Kamu sendiri gimana? senang? kesal? Aku rasa, dia nggak bohong kok kalau dia emang suka sama kamu. Hanya saja, dia memang salah mengatakannya di waktu yang benar-benar nggak tepat. But, It's better to tell that special person how you feel before its too late, right?"

   Melihat raut wajahku yang berubah bingung, dia melanjutkan lagi. "Ingat waktu undian tempat duduk di kelas? Sebenarnya, akulah yang mendapatkan nomor 8. Tetapi, dia meminta dan memohon agar aku mau menukar nomor undianku dengan miliknya yang nomor 6. Seperti yang kamu tahu, Aku adalah orang yang nggak mau bertukar apapun kalau tidak ada alasannya. Akhirnya, dia mengatakan alasannya padaku bahwa dia menyukaimu. Pertamanya juga aku berpikir bahwa dia pasti hanya iseng karena mengincar tempat duduk di belakang dan akhirnya menggunakan alasan licik itu. Namun, melihatnya yang terus memohon dan mengatakan if he really loved a girl, he would do anything to stay with her."

   Elsa menghela napasnya sejenak. "Dia benar-benar membuktikannya. Karena, aku mendengar dari siswa kelas kita, bahwa Hans memukul Felix tepat di waktu pelajaran menggambar di halaman belakang sekolah. Percayalah bahwa dia memang menyukaimu. Without the dark, we'd never see the stars. Cuma ini aja saran yang bisa aku kasih ke kamu, semua keputusan ada di tanganmu."

    Sekali lagi, aku cuma bisa termenung memikirkan pernyataan Elsa yang sangat membuatku cukup syok.

    Seperti yang sudah terjadi, Hari ini pun kami berdua tetap diam seribu bahasa. Dia sedang tertidur pulas. Padahal, jam pelajaran sudah berakhir. Aku menuliskan sebuah pesan di punggung tangan kirinya. Lalu beranjak untuk pergi. Ketika itu juga, dia memanggilku.

   "Oh, sudah bangun ya?" tanyaku sebagai basa-basi.

   "Ya, begitulah. Pelajaran sudah selesai?"

   "Iya, daritadi. Aku duluan ya, ada barang yang harus aku beli."

   Seketika itu juga dia memegang tanganku. "Kamu yang menulis ini kan?" Dia menunjuk tulisan di punggung tangan kirinya.

   Aku terkejut. Tapi, akhirnya aku bisa menguasai diriku lagi. "Bukan, aku tidak tahu siapa yang menulis itu" dalihku.

   "Oh.. begitu.."

   "Lyn"

   "Ya?"

   "Aku benar-benar nggak bercanda tentang perasaanku padamu."

   "Iya, aku tahu."

   "Aku cuma ingin mengatakan itu. ... Eh? Apa tadi?"

   "Iya, aku tahu kamu nggak bercanda. Aku sudah dengar semuanya dari Elsa."

   "Lalu..?"

   "Lalu.. Jawaban apa memang yang ingin kamu dengar, hah?" jawabku dengan nada gurau.

   "Oh iya, bego gue. Emang jawaban apa yang gue mau ya. Haha.. ha.. ha.."

   Aku segera mengeluarkan spidol hitam dari tasku, memegang tangan kirinya dan membuat sebuah lingkaran yang mengeliling di jari manisnya. "Ya, itulah jawabanku" Aku tersenyum.

   Dia mengambil spidolku, dan membuat sebuah lingkaran yang mengeliling dijari manisku juga. "Dan inilah jawaban dan perasaanku." katanya sambil memberikanku sekotak cokelat bertuliskan I Love You diatasnya.

   "Nah, gitu dong. Kan enak dilihatnya." Kami berdua kaget dengan asal suara itu, karena sempat mengira bahwa kelas ini sudah kosong. Ternyata disini masih ada Elsa.

   "Sejak kapan kamu disin..i?"

   "Haha, itu tidak penting. Yang penting, selamat ya untuk kalian berdua. Longlast!! Hans, jangan sakitin sahabat gue kayak seseorang ya. Kalau nggak, urusannya sama gue, ngerti? Btw, Jangan lupa traktiran, oke?"

  "Siap, bos!"
 
  "Elsaaaaaa!!!" kataku dengan nada gemas mendengar embel-embelnya terakhir yang meminta traktiran. "Ternyata dibalik kata longlast ada kata traktiran". Mereka berdua tertawa bersama dan aku pun juga ikut tertawa.

***
   Jadi, cinta itu ternyata bukan cuma mengenai kepahitan tetapi ada sisi manisnya juga. Karena bagaimanapun ga selamanya cinta itu pahit dan ga juga selamanya cinta itu akan selalu manis. Tapi kita semua nggak pernah tahu, kapan kemanisan cinta itu akan berakhir selagi kita masih SMA. Hanya diri sendiri dan pasanganmulah yang dapat mempertahankannya hingga kelak. Lalu, menurutmu cinta itu seperti apa, guys?



 Sesuai persyaratan, harus memfollow 4 account ini, berikut screenshootnya:







2 comments:

  1. Wah, so sweet banget ceritanya. Kenapa dulu pas Sma gue nggak kepikiran gitu, ya. Melingkari jari manis dengan spidol sebagai tanda cinta yang sederhana, namun romantis.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Woahhh!! Thanks nih udah nyempatin buat ngebaca cerita gue ^^v
      Syukurlah ada yang bilang so sweet #kiraingaksosweet
      Haha.. sabar ya #pukpuk '-')/

      Delete